Header Ads

Dewan Desak Pj Gubernur Segera Mundur, Diingatkan Jangan Pakai Politik Aji Mumpung

 


Desakan kepada Lalu Gita Ariadi agar segera mundur dan melepas jabatan sebagai pj Gubernur NTB terus mengalir.


Hal itu datang dari Sekretaris DPD Partai Gerindra Provinsi NTB yang juga Wakil Ketua DPRD NTB Nauvar Furqoni Farinduan.


”Pak Pj (Lalu Gita, Red) ini harus segera mengambil sikap,” terangnya saat ditemui, Rabu (5/6).


Memang di surat edaran Kemendagri dijelaskan, penjabat kepala daerah yang akan maju pada Pilkada wajib mundur paling lambat 40 hari sebelum pendaftaran pasangan calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU).


Untuk Pilkada serentak 2024, pendaftaran pasangan calon akan dibuka pada 27 Agustus 2024, sehingga batas akhir pengajuan pengunduran diri oleh penjabat kepala daerah di tanggal 19 Juli 2024.


Namun pengunduran diri bisa saja dilakukan lebih cepat, apabila Gita memperhatikan etika sebagai seorang birokrat.


Baca Juga: Tok, Cuti Melahirkan Jadi Enam Bulan, Apa Pertimbangannya?


”Kalau secara regulasi, pak pj memang harus mengacu pada aturan itu, tetapi ini kita bicara personal, bicara etika, kalau memang sudah nawaitu ingin maju, ingin berjuang, ya sudah (mundur) biar fokus,” kata pria asal Lombok Barat (Lobar) ini.


Dirinya memahami langkah politik Gita.


Apalagi saat ini, pria asal Lombok Tengah (Loteng) tersebut, masih berjuang merebut rekomendasi sejumlah partai politik, agar memuluskan impiannya untuk bisa maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTB 2024.


Karenanya, dengan mengajukan pengunduran diri dari posisi pj Gubernur NTB lebih cepat, supaya setiap langkah Gita tidak memunculkan persoalan.


Menurutnya, ada sejumlah dampak atau akibat yang timbul, apabila kondisi ini tidak diatensi.


Bisa menimbulkan anggapan bahwa pimpinan mengabaikan agenda atau kegiatan daerah.


”Kalau memang pasti maju di kontestasi Pilgub, ya sudah segera diseriusin dan tentukan sikap tadi,” kata Farin.


Kemudian muncul dugaan pelanggaran netralitas ASN.


Lantaran, langkah Gita yang terus merapat ke sejumlah partai politik.


Padahal pada saat yang bersamaan, Gita masih menjadi ASN.


Selanjutnya, ada indikasi penyalahgunaan fasilitas daerah untuk kegiatan politik, dan yang paling menjadi sorotan, adanya tumpang tindih kewenangan.


”Dalam artian, satu sisi beliau sebagai Pj Gubernur NTB, tetapi di sisi lain, beliau juga sedang berikhtiar, makanya untuk menghindari hal-hal seperti itulah, sekali lagi harus diputuskan segera ini langkahnya seperti apa,” terang Farin.


Ketika tidak ada keputusan atau sikap yang konkret dari Gita, ini juga akan berpengaruh terhadap realisasi kebijakan dan program di Pemprov NTB, serta masa depan politiknya.


”Harus memilih dan segera memilih salah satunya, karena bagaimanapun beliau adalah komandan tertinggi di daerah, banyak kebutuhan daerah yang memerlukan strategi dan pemikiran dari kepala daerah,” tandasnya.


Sementara itu, Komisioner Bawaslu NTB Suhardi menerangkan bahwa Gita dan siapapun ASN yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah semestinya tidak perlu menunggu batas akhir yang tertera dalam syarat pengunduran.


Ada dampak saat ketidakpastian langkah politik ASN tersebut bagi publik.


Ia dengan tegas menyebut ‘main kucing-kucingannya pejabat berpolitik’ sebagai pendidikan politik yang tidak baik untuk masyarakat. 


”Jangan sembunyi-sembunyilah. Terus tidak mau diproses. Kayak papuk baloknya saja yang punya APBN-APBD ini,” sindirnya.   


Pentingnya kepastian pengunduran diri yang ditekankan Suhardi beresensi pada penggunaan fasilitas negara, untuk kepentingan pribadi.


Kata dia, ASN memiliki hak untuk berpolitik, namun juga mesti memperhatikan penggunaan fasilitas negara dalam menjalani proses berpolitiknya yang merupakan itu adalah kepentingan pribadinya. 

No comments

Powered by Blogger.